Jumat, 12 Juni 2009

Haji

Nikmatnya Salat Bersujud Mencium Bumi
Sebagai jamaah haji kelompok biasa (bukan ONH Khusus), kami mendapatkan waktu sekitar 40 hari sebagai rangkaian seluruh ibadah haji. Dari seluruh waktu itu, sekitar 8 hari kami habiskan di Mekkah, dan sisanya berada di Mekkah dan sekitarnya, terutama ketika hari-H Ibadah Haji, yakni berada di Mina, Arafah, dan sekitarnya.
Ini adalah pengalaman unik saya ketika berada di kota Mekkah. Adalah kenikmatan bisa salat di Masjid al Haram, tempat kiblat sebagai pusat ibadah umat Islam di dunia ini. Salat di masjid ini indahnya tidak terkatakan. Maka wajar saja, hampir setiap waktu salat kami habiskan ke masjid biarpun itu berarti harus jalan kaki lebih dari 2km. Tapi, jamaah haji yang berusia 60 tahun ke atas biasanya mengutamakan salat-salat seperti Subuh, Dhuhur, dan Maghrib yang disambung Isya. Jadi cuma perlu tiga kali jalan kaki pulang-pergi.
Pada hari itu, entah saya lupa harinya atau tanggalnya, waktu sudah sore hari. Mungkin pukul 15:30 waktu setempat. Saat itu menjelang Asar. Seperti biasa, saya berniat salat di Masjid al Haram. Segera setelah membersihkan diri, saya segera bergegas karena mengira saya harus agak setengah berlari agar cukup mengejar waktu Asar yang sebentar lagi tiba. Saat itu waktu Asar di Mekkah adalah sekitar pukul 15:50 waktu setempat.
Ternyata, kekhwatiran saya terbukti, tak sampai setengah perjalanan, adzan Asar bergema di mana-mana. Saya cukup panik. Meskipun tidak ada larangan berjalan-jalan ketika waktu salat tiba, tetapi rasanya kurang pas terlambat salat di Masjid al Haram. Balik ke pemondokan rasanya juga lebih lucu. Maka, ketika saya melihat ada sebuah mushalla kecil di pinggir jalan, saya terpikir untuk mencoba rasanya salat di mushalla di dekat Masjid al Haram. Rasanya cukup menggelikan, di dekat masjid pusat ibadah umat Islam, tapi salatnya agak jauh. Tapi, tidak mungkin semua umat Islam di Mekkah harus selalu salat di Masjid al Haram bukan?
Segera setelah sampai di mushalla tersebut, saya segera bergegas mencari tempat untuk bersalat. Ternyata tempat sudah penuh. Saya melihat bahkan orang-orang sudah salat di pinggiran jalan di dekat mushalla. Ah, apa boleh buat, saya pun ikut bergabung dengan mereka.
Kebingungan saya datang lagi. Saya biasanya tidak pernah membawa sajadah ketika ke Masjid al Haram. Nah, kebanyakan jamaah di mushalla tersebut juga tidak membawa sajadah. Saya cuma melihat beberapa jamaah menggelar kardus bekas untuk salat. Wah, ini seperti salat Ied di lapangan di Jakarta dong.
Setelah tengok kanan-kiri, ternyata kardus bekas lain tidak ada. Setelah melihat-lihat lagi, akhirnya saya bergabung dengan seorang jamaah lokal yang kebetulan membawa kardus kecil. Akhirnya saya memutuskan bergabung dengan orang ini.
Kardus yang lebarnya sekitar 30 cm itu pun digelar. Saya berasumsi, “Ah kardus ini mungkin cukup buat alas bersujud.” Saya lihat banyak jamaah lain pun salat dengan kardus terbatas, kakinya sebagian menyentuh tanah.
Ternyata, asumsi saya salah. Orang tersebut menggelar kardus hanya untuk alas kaki. “Kok kakinya yang dialasi? Kenapa bukan kepalanya?” demikian pikir saya dalam hati. Ternyata, setelah saya tengok beberapa jamaah lain juga begitu.
Oh, jadi saya harus salat langsung bersujud mencium bumi ya? Padahal jalanan di sekitar Mekkah kan kurang bersih (maklum banyak orang berdagang di sekitar situ), meskipun belum tentu tidak suci. Ya, sudah saya akan mencoba, siapa tahu salatnya lebih khusyuk.
Segera panggilan iqamat dikumandangkan. Saya segera bertakbir dan ikut salat berjamaah.
Rasanya gimana salat bersujud langsung mencium bumi? Jidat saya penuh dengan pasir dan tanah. Cukup mengganggu sih pada awal sujud, tapi lama kelamaan terbiasa.
Cukup sekali itu saya salat di mushalla sekitar Masjid al Haram.

Tidak ada komentar:

SEKOLAH KEDINASAN

Pengertian Sekolah Kedinasan Hal pertama yang perlu kamu ketahui bahwa sekolah kedinasan, sekolah ikatan dinas, dan perguruan tinggi kedinas...